sumber gambar: www.deviantart.com |
Sepulang
sekolah hari itu, aku tak melihat tetangga yang biasa menjemputku di luar
kelas. Tak terpikir untuk menunggu atau mencarinya, aku pun bergegas pulang sendiri
ke rumah dengan berjalan kaki. Jarak dari sekolah ke rumah kira-kira satu
kilometer dan hanya ada satu jalan raya yang harus aku seberangi yang berjarak
100 meter menuju rumah.
Sudah beberapa
kali aku diajari cara menyeberangi jalan raya dan berhasil dengan selamat
melakukannya. Tapi entah mengapa siang itu, aku hanya menoleh ke kanan lalu
berlari menyeberangi jalan tersebut. Tiba-tiba, aku merasa sesuatu yang berat
melindasku. Rasanya seperti sebuah roda berjalan di atas kakiku disertai dengan
bisingnya suara bajaj. Ya, masa itu belum ada bajaj biru yang halus suara dan tarikan mesinnya.
Rupanya aku sempat tak sadarkan diri dan kini sudah dibawa ke warung di pinggir jalan tersebut. Seorang Bapak nampak panik lalu bersama temannya menggendong dan membawaku pergi dengan bajajnya. Aku yang masih setengah sadar, hanya pasrah dibawa menjauh dari arah rumah.
Rupanya aku sempat tak sadarkan diri dan kini sudah dibawa ke warung di pinggir jalan tersebut. Seorang Bapak nampak panik lalu bersama temannya menggendong dan membawaku pergi dengan bajajnya. Aku yang masih setengah sadar, hanya pasrah dibawa menjauh dari arah rumah.
Tibalah aku
di sebuah rumah. Di sana, seseorang mencoba meluruskan kaki kiriku yang
tertekuk dengan cara menariknya. Aku berteriak kesakitan, kakiku tak bisa
diluruskan. Bapak tadi akhirnya menyerah dan membawaku kembali naik bajajnya. Dia
pun mengantarkan ke rumah setelah memintaku menunjukkan jalannya.
Akhirnya
dia menceritakan kepada orang rumah bahwa telah menabrakku dengan bajajnya. Ia meminta
maaf dan berkali-kali memohon untuk tidak dilaporkan ke polisi. Kemudian keluarga
membawaku ke Rumah Sakit Persahabatan bersama dengan supir bajaj tadi. Setelah diperiksa,
aku mendengar bahwa aku harus menggunakan kaki palsu karena tulang di paha kiri
patah dan bergeser menumpuk ke tulang lain. Seingatku, saat itu aku tidak
menangis sama sekali, hanya merasa bingung mengalami peristiwa yang luar biasa
bagi anak yang belum genap enam tahun.
Lalu aku
dibawa kembali ke rumah. Tak lama kemudian Ayah datang bersama supir taksi yang
beliau temui di dekat rumah Kakek. Bapak supir ini menyarankan untuk membawaku
ke Cimande. Belakangan aku ketahui bahwa di sana memang daerah yang banyak dituju
untuk pengobatan patah tulang.
Sampailah
kami sekeluarga di Cimande, di sebuah rumah pengobatan patah tulang
tradisional. Lalu aku pun ditidurkan dengan kaki kiri yang masih menekuk. Seorang
Bapak menarik kakiku untuk meluruskannya. Aku berteriak kesakitan, “Jangaaan!
Jangan Pak Dukun, jangaaaan!” Mungkin aku terlalu sering ikut menonton sinetron
bersama Nenek, sehingga berkesimpulan Bapak ini adalah seorang dukun.
“Pak
Dokter, Neng. Bukan Pak Dukun.” Kata seorang Ibu yang sepertinya adalah istri
dari ‘Pak Dukun’ tadi. Masih sambil kesakitan karena kakiku terus ditarik perlahan,
aku pun menurut, “Jangaaan, Pak Dokter! Jangaaaan!” Walau aku tahu betul ia
bukan dokter, lagi pula tempat ini bukan rumah sakit. Tapi percuma, kakiku
terus ditarik hingga akhirnya bisa lurus. Kemudian setelah diminyaki dan
dipijat, kakiku dipasangi papan-papan agar tetap lurus.
Aku pun
menghabiskan hari-hari di Cimande dengan lebih banyak di tempat tidur. Aku tidak
ingat bagaimana buang air saat itu. Mungkin digendong dan dibantu oleh Ayah
atau keluarga yang bergantian menengok atau keluarga baruku di rumah itu. Seminggu
pertama, Ayah terus menemaniku dengan hanya satu baju yang menempel di badannya.
Karena begitu paniknya beliau sehingga tas yang berisi baju-bajunya tertinggal.
Sekitar sebulan
kemudian, papan pelurus di kakiku dilepas. Aku pun rutin dijemur setiap pagi. Jadi
seperti bayi lagi ya. Perlahan, aku pun belajar berjalan lagi bersama dengan
keluarga ‘Pak Dukun’ yang mengisi hari-hariku di sana. Awalnya ada rasa takut
jatuh, hingga akhirnya aku benar-benar bisa berjalan seperti semula. Alhamdulillah.
Aku sangat bersyukur. Tak terbayang bagaimana jika aku benar-benar harus
memakai kaki palsu. Bagaimana jika Allah tak mempertemukan Ayah dengan supir
taksi yang menunjukkan jalan ke Cimande. Aku pun semakin yakin bahwa di tiap
kesulitan yang Allah berikan, selalu ada kemudahan di baliknya.
Lebih dari
60 hari aku tidak masuk sekolah, bahkan aku melewatkan ujian caturwulan pertama
di kelas I. Sang wali kelas berbaik hati memberikan nilai enam pada semua mata
pelajaran di rapor. Alhamdulillah aku tetap bisa mengikuti pelajaran
sekembalinya ke sekolah dan mendapat nilai yang sangat baik di caturwulan kedua
dan seterusnya.
Itulah kenanganku
yang paling berkesan di awal sekolah formal pertamaku. Kenangan yang
mengajarkan beberapa hal. Tentang pentingnya kehati-hatian, apalagi di jalan
raya. Tentang perlunya tanggung jawab atas setiap perbuatan seperti yang
ditunjukkan oleh Bapak Supir Bajaj. Tentang adanya usaha dan kesabaran untuk
proses kesembuhan. Tentang semangat untuk bangkit dan belajar kembali setelah
mengalami ketertinggalan. Tentang keyakinan kepada Allah, bahwa ketetapan Allah
itu baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar