Saat anak pertama kami belum genap satu tahun,
sudah ada yang berkomentar, “Sudah bisa nih nambah lagi,” katanya sambil
melirik si bocah cilik. Semakin bertambah usia si sulung, semakin banyak yang
berkomentar dan menyarankan hal senada. Biasanya hanya kami jawab komentar
tersebut dengan senyuman paling manis. Kami masih bulat untuk melakukan program
kehamilan lagi dengan selang lima tahun dari yang pertama. Agar bisa
menyelesaikan dahulu masa dua tahun menyusui si sulung. Sekalian juga menunggu
dia siap berbagi kasih sayang dengan saudaranya kelak.
Akhirnya kami memutuskan untuk mulai berikhtiar
mendapatkan anak lagi saat si sulung berusia dua setengah tahun. Sebelum itu,
kami sudah sering bercerita kepada si sulung mengenai adik bayi. Awalnya dia
berkata tidak ingin punya adik. Kelamaan, jawabannya selalu konsisten ingin
punya adik yang akan diajaknya bermain mobil-mobilan. Kami berharap dengan
adanya komunikasi ini, kelak si kakak tidak akan begitu kaget dan juga untuk
memupuk fitrah berkasih sayang sesama saudara.
Empat bulan berselang, setelah sebelumnya hasil testpack-nya negatif terus, saya
berfirasat, atau berharap lebih tepatnya, akan mendapat hasil positif kali ini.
Saya pun maju mundur saat diajak suami untuk ikut dinas ke luar kota karena
adanya feeling tersebut. Lalu, saya
melakukan uji kehamilan waktu baru sehari telat menstruasi. Terlalu semangat
ya. Tapi, hasilnya hanya garis satu, negatif. Saya pun jadi galau karena
firasat semakin kuat, tapi hasil tes berkata sebaliknya.
Lima hari berikutnya, darah haid tak juga
keluar. Walau takut kecewa, pagi itu sebelum salat subuh, saya tes lagi. Jeng
jeng jeng. Alhamdulillah hasilnya garis dua. Saya refleks tersenyum kala
melihatnya. Akan tetapi, saya tahan wajah sumringah ketika keluar kamar mandi.
Saya ingin salat dan memanjatkan syukur serta doa kepada Sang Pemberi terlebih
dahulu sebelum memberi tahu ayahnya.
Ketakutan yang dirasakan di kehamilan pertama
kembali menjalar. Saya takut, karena dengan satu anak saja, masih banyak kurang
dan salah dalam mengasuh. Saya ragu. Akankah kami mampu? Apalagi kemarin, saya
baru menonton video di akun facebook seorang
kawan yang berisi nasihat untuk orang tua. Pesannya disampaikan oleh seorang
anak dalam bahasa Arab. Nasihat itu mengingatkan bahwa orang tua lebih sering
memperhatikan jasmani dan masa depan anak di dunia. Sibuk memberi makanan yang
bergizi, menyiapkan tabungan dan membeli tanah agar kelak anak hidup nyaman.
Khawatir jika nanti anak kekurangan harta. Padahal Alquran mengingatkan bahwa
tugas orang tua adalah memelihara anak-anaknya dari api neraka. Astagfirullah.
Makin takutlah ibu hamil muda yang sedang ditinggal suaminya dinas luar kota
seminggu ini.
Apakah memang semua ibu merasakan seperti saya?
Ingin sekali kembali hamil dan menimang bayi, tapi kemudian ketakutan tak mampu
menjalankan amanah dengan baik. Allahu Rabbuna, tolonglah kami. Kami tak
sedikitpun memiliki kekuatan tanpa pertolongan dari-Mu. Mampukan kami, Ya Rabb,
karena Engkaulah Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Hai orang-orang yang
beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya
adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan
tidak mendurhakai Allâh terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan
selalu mengerjakan apa yang diperintahkan. (Alquran surat At-Tahrim ayat 6)
#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
#Day14
Tidak ada komentar:
Posting Komentar