Sebagai
makhluk sosial nan dinamis, pindahan merupakan hal yang lumrah terjadi pada
manusia. Mulai dari pindah rumah, sekolah, atau tempat kerja. Walau biasa
terjadi, pindahan sering kali terasa berat dan menjadi hal yang sentimentil.
Karena bukan hanya raga dan barang-barang yang harus dibawa pindah, hati dan
kenangan yang terukir justru lebih sering
tertinggal di tempat lama. Apalagi keluarga dan sahabat terdekat tentu tidak bisa serta merta
diboyong. Merasa asing di tempat baru serta harus mulai mencari kembali
kenyamanan dan sahabat baru, bikin pindahan menjadi momok bagi sebagian besar
orang. Akan tetapi, hidup adalah soal memilih. Meski terasa sulit di awal,
pindahan bisa jadi harapan untuk penghidupan yang lebih baik ke depannya.
Pindahan
pertama yang saya alami adalah ketika masih berusia di bawah tiga tahun. Aba, Mama,
dan saya pindah dari Kota Bandung tempat saya dilahirkan ke Kabupaten Karawang
tempat Aba diterima bekerja sebagai pegawai negeri sipil. Walau masih ingat
bayangan rumah pertama kami, saya tak ingat betul bagaimana perasaan kala itu. Mungkin
karena masih batita sehingga lebih gampang beradaptasi selama tetap bersama
pengasuh terdekat yakni kedua orang tua.
Pindahan
kedua terasa cukup menyedihkan bagi saya. Hal itu terjadi ketika di usia empat
tahun, Mama meninggal, sehingga saya dibawa oleh kedua Eyang ke rumah mereka di
Kota Jakarta. Waktu itu saya belum benar-benar paham apa yang terjadi. Saya bingung
ketika Aba beberapa kali pingsan saat jenazah Mama dibaringkan di ruang tengah
rumah Buyut. Saya tidak menangis melihat Mama yang tak bergerak, malah takut
kalau-kalau beliau akan jadi hantu. Mungkin saya terlalu banyak menonton
tayangan yang kurang mendidik, sehingga menjadi begitu.
Yang
saya sedihkan justru perpisahan dengan Aba. Saya senang bukan kepalang ketika beliau
datang berkunjung ke Jakarta, tetapi akan tetap menangis tersedu-sedu sambil
bersembunyi di kamar ketika beliau kembali ke Karawang. Hal itu terus terjadi
bahkan hingga saya menginjak usia SMP. Saya ingin sekali tinggal dengannya agar
tak lagi merasa menderita. Belum sampai saya utarakan keinginan saya, Eyang dan
Tante-tante melarang karena Aba belum menikah kembali. Karena harapan tidak
juga terkabul, saya bahkan sempat berdoa agar Eyang segera meninggal. “Mungkin dengan
begitu, saya akan dikembalikan ke Aba.” Sungguh polos sekali pemikiran saya
yang masih anak-anak waktu itu. Alhamdulillah kedua Eyang masih sehat hingga
kini berusia 75 dan 78 tahun. Malah Aba yang sudah dipanggil Allah lebih dulu empat tahun lalu di usia 53 tahun. Begitulah takdir Allah terjadi.
Selain kesedihan, ketika itu saya juga merasa
iri terhadap sepupu-sepupu yang tinggal bersama di rumah Eyang. Mereka masih
memiliki ibu yang selalu memperhatikan. Sementara saya selalu dianggap sudah
mandiri karena merupakan cucu tertua. Saya juga cemburu terhadap teman-teman
yang selalu dibelikan baju, sepatu, dan tas baru oleh ibu mereka. Sebenarnya Eyang
dan Tante juga membelikan saya, tapi namanya juga anak-anak, masih belum
memahami hikmah dari ketentuan Allah sehingga lebih sering murung dan belum
mampu banyak bersyukur.
#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
#Day8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar