Bajaj Merah Warnanya

sumber gambar: www.deviantart.com
Aku belum genap berusia enam tahun kala itu, tepatnya masih lima setengah tahun, tapi sudah duduk di bangku Sekolah Dasar. Kalau zaman sekarang, seorang anak harus berusia di atas enam untuk dapat diterima di Sekolah Dasar. Aku pun dulu hampir ditolak saat pendaftaran, hanya saja Kakek berhasil meyakinkan pihak sekolah untuk menerima aku yang sudah pandai membaca walau tak pernah dimasukkan ke Taman Kanak-kanak. Ya, sejak Ibu wafat di usiaku yang baru empat tahun, aku tinggal di Jakarta bersama Kakek, Nenek, dan Tante yang paling bungsu dari pihak Ibu. Tante inilah yang mengajariku membaca, walau ia selalu merendah sambil berkata, “Dian memang sudah bisa sendiri, hanya diajari sedikit saja langsung bisa membaca dengan baik.” Sedangkan adikku, yang masih berusia sebelas bulan saat Ibu tiada, diasuh oleh kerabat Kakek di Indramayu yang tidak memiliki anak. Lalu Ayah tinggal dan bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil di Karawang. Begitulah uniknya keluargaku.
Sepulang sekolah hari itu, aku tak melihat tetangga yang biasa menjemputku di luar kelas. Tak terpikir untuk menunggu atau mencarinya, aku pun bergegas pulang sendiri ke rumah dengan berjalan kaki. Jarak dari sekolah ke rumah kira-kira satu kilometer dan hanya ada satu jalan raya yang harus aku seberangi yang berjarak 100 meter menuju rumah.

Sudah beberapa kali aku diajari cara menyeberangi jalan raya dan berhasil dengan selamat melakukannya. Tapi entah mengapa siang itu, aku hanya menoleh ke kanan lalu berlari menyeberangi jalan tersebut. Tiba-tiba, aku merasa sesuatu yang berat melindasku. Rasanya seperti sebuah roda berjalan di atas kakiku disertai dengan bisingnya suara bajaj. Ya, masa itu belum ada bajaj biru yang halus suara dan tarikan mesinnya. 
Rupanya aku sempat tak sadarkan diri dan kini sudah dibawa ke warung di pinggir jalan tersebut. Seorang Bapak nampak panik lalu bersama temannya menggendong dan membawaku pergi dengan bajajnya. Aku yang masih setengah sadar, hanya pasrah dibawa menjauh dari arah rumah.
Tibalah aku di sebuah rumah. Di sana, seseorang mencoba meluruskan kaki kiriku yang tertekuk dengan cara menariknya. Aku berteriak kesakitan, kakiku tak bisa diluruskan. Bapak tadi akhirnya menyerah dan membawaku kembali naik bajajnya. Dia pun mengantarkan ke rumah setelah memintaku menunjukkan jalannya.
Akhirnya dia menceritakan kepada orang rumah bahwa telah menabrakku dengan bajajnya. Ia meminta maaf dan berkali-kali memohon untuk tidak dilaporkan ke polisi. Kemudian keluarga membawaku ke Rumah Sakit Persahabatan bersama dengan supir bajaj tadi. Setelah diperiksa, aku mendengar bahwa aku harus menggunakan kaki palsu karena tulang di paha kiri patah dan bergeser menumpuk ke tulang lain. Seingatku, saat itu aku tidak menangis sama sekali, hanya merasa bingung mengalami peristiwa yang luar biasa bagi anak yang belum genap enam tahun.
Lalu aku dibawa kembali ke rumah. Tak lama kemudian Ayah datang bersama supir taksi yang beliau temui di dekat rumah Kakek. Bapak supir ini menyarankan untuk membawaku ke Cimande. Belakangan aku ketahui bahwa di sana memang daerah yang banyak dituju untuk pengobatan patah tulang.
Sampailah kami sekeluarga di Cimande, di sebuah rumah pengobatan patah tulang tradisional. Lalu aku pun ditidurkan dengan kaki kiri yang masih menekuk. Seorang Bapak menarik kakiku untuk meluruskannya. Aku berteriak kesakitan, “Jangaaan! Jangan Pak Dukun, jangaaaan!” Mungkin aku terlalu sering ikut menonton sinetron bersama Nenek, sehingga berkesimpulan Bapak ini adalah seorang dukun.
“Pak Dokter, Neng. Bukan Pak Dukun.” Kata seorang Ibu yang sepertinya adalah istri dari ‘Pak Dukun’ tadi. Masih sambil kesakitan karena kakiku terus ditarik perlahan, aku pun menurut, “Jangaaan, Pak Dokter! Jangaaaan!” Walau aku tahu betul ia bukan dokter, lagi pula tempat ini bukan rumah sakit. Tapi percuma, kakiku terus ditarik hingga akhirnya bisa lurus. Kemudian setelah diminyaki dan dipijat, kakiku dipasangi papan-papan agar tetap lurus.
Aku pun menghabiskan hari-hari di Cimande dengan lebih banyak di tempat tidur. Aku tidak ingat bagaimana buang air saat itu. Mungkin digendong dan dibantu oleh Ayah atau keluarga yang bergantian menengok atau keluarga baruku di rumah itu. Seminggu pertama, Ayah terus menemaniku dengan hanya satu baju yang menempel di badannya. Karena begitu paniknya beliau sehingga tas yang berisi baju-bajunya tertinggal.
Sekitar sebulan kemudian, papan pelurus di kakiku dilepas. Aku pun rutin dijemur setiap pagi. Jadi seperti bayi lagi ya. Perlahan, aku pun belajar berjalan lagi bersama dengan keluarga ‘Pak Dukun’ yang mengisi hari-hariku di sana. Awalnya ada rasa takut jatuh, hingga akhirnya aku benar-benar bisa berjalan seperti semula. Alhamdulillah. Aku sangat bersyukur. Tak terbayang bagaimana jika aku benar-benar harus memakai kaki palsu. Bagaimana jika Allah tak mempertemukan Ayah dengan supir taksi yang menunjukkan jalan ke Cimande. Aku pun semakin yakin bahwa di tiap kesulitan yang Allah berikan, selalu ada kemudahan di baliknya.
Lebih dari 60 hari aku tidak masuk sekolah, bahkan aku melewatkan ujian caturwulan pertama di kelas I. Sang wali kelas berbaik hati memberikan nilai enam pada semua mata pelajaran di rapor. Alhamdulillah aku tetap bisa mengikuti pelajaran sekembalinya ke sekolah dan mendapat nilai yang sangat baik di caturwulan kedua dan seterusnya.
Itulah kenanganku yang paling berkesan di awal sekolah formal pertamaku. Kenangan yang mengajarkan beberapa hal. Tentang pentingnya kehati-hatian, apalagi di jalan raya. Tentang perlunya tanggung jawab atas setiap perbuatan seperti yang ditunjukkan oleh Bapak Supir Bajaj. Tentang adanya usaha dan kesabaran untuk proses kesembuhan. Tentang semangat untuk bangkit dan belajar kembali setelah mengalami ketertinggalan. Tentang keyakinan kepada Allah, bahwa ketetapan Allah itu baik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar