“Seratus lima puluh ribu.” Ucapnya dengan amat ramah. Saya
sedikit kaget dengan harganya karena rasanya waktu kehamilan pertama tidak
semahal itu, ya iya lah tiga setengah tahun lalu. Akan tapi tetap membayar
sambil menyembunyikan ekspresi yang mungkin muncul dan tak lupa mengucapkan
terima kasih.
Adek Janin (bagian 3)
Hanif pun mulai bosan berada di Puskesmas. Beberapa kali dia
katakan, “Ibu, pulang yuk!”
“Tunggu Ibu selesai diperiksa dulu ya.” Syukurlah ia masih
sabar dan kembali mengajak saya bercerita.
“Ibu, Kakak itu mirip Kakak Abi ya?” Tanyanya sambil menunjuk
salah satu anak ibu yang sedang diperiksa tadi.
“Hmmm. Mirip sedikit, hehehe.” Jawab saya sambil tersenyum
teringat pada suami yang sering memirip-miripkan orang, padahal tidak mirip
menurut saya.
“Kalau Kakaknya mirip Kakak Fahri, Ibu!”
“Ah masa sih, Nak?” Jawab saya sambil menahan tawa karena
lagi-lagi kurang mirip.
“Iya, Ibu!” Jawabnya yakin, saya pun tertawa.
Adek Janin (bagian 2)
Sebetulnya, kami tak ingin bersegera memberi tahu Hanif
bahwa ia akan punya adik. Bisa jadi dia akan merasa khawatir kasih sayang orang
tuanya berkurang atau dia akan merasa lama sekali adiknya untuk lahir ke dunia.
Apalagi ia masih dalam rentang usia yang baru memahami hal-hal konkrit. Maka ketika
diberi tahu akan punya adik, dia akan bertanya-tanya di mana adiknya. Dia pun
belum paham konsep menunggu. Ia hanya bisa menunggu dalam rentang waktu yang
amat pendek, hitungan menit. Itulah yang menjadi beberapa pertimbangan untuk
tidak cepat-cepat memberitahunya. Akan tetapi, hidup bertiga di rantauan tanpa
sanak saudara, membuat saya harus selalu membawanya ke mana pun. Ditambah
kemampuan bicara yang sedang berkembang pesat membuatnya banyak bertanya dan
terus meminta penjelasan. Kami pun membiasakan diri mengatakan segala sesuatu
yang sebenarnya, tidak berbohong dan berusaha menepati janji. Jadilah, ia sudah
tahu bahwa akan punya adik, yaitu si janin yang sedang berada di perut ibunya.
Adek Janin
Sebelas
hari yang lalu, saya sudah tujuh hari terlambat haid. Dengan penuh harap,
bangun tidur sebelum berwudhu untuk salat subuh, saya melakukan uji kehamilan. Senyum
sumringah segera muncul ketika garis dua muncul perlahan. Saya pun salat, lalu
memberitahukan suami. Ia pun sama bahagianya dan segera menghambur memeluk
saya. Alhamdulillah, hati kami menyatakan degup penuh kesyukuran.
Untuk Apa
Sejatinya
untuk apa kau bekerja keras hingga larut tiba baru pulang ke rumah? Padahal
hasil jerih payahmu sering tak diapresiasi oleh pimpinan. Ia hanya tahu
mengomelimu saat kau tak dapat memenuhi target walau kau sudah terus bekerja
hingga akhir minggu tak bersisa waktu untuk keluarga. Apalagi rekan kerjamu
malah memanfaatkan kegigihanmu, meninggalkan sebagian besar pekerjaan untukmu.
Kau bahkan sering membelikan makanan untuk mitra kerja yang membantu
pekerjaanmu, tapi mereka justru mendahulukan membantu pekerjaan rekanmu yang
hanya bisa memerintah saja. Lalu, mengapa kau tetap membanting tulang hingga
malam setiap harinya di tengah kondisi seperti ini? Tidak bisakah kau cukupkan
hingga jam kerja orang normal saja?
Jalan Sepi Pilihan Almira (versi 2)
sumber gambar: www.ambau.id |
“Nak,
enggak mau ikut daftar PNS kan?
Kenapa?” Pertanyaan ibu mertua Almira memecah keheningan makan malam mereka
berdua di sebuah rumah di pinggiran Jakarta Timur.
“Biar
enggak bingung, Bu, kalau nanti Mas
Adri dipindahtugaskan lagi. Mira tinggal ikut saja. Enggak perlu galau mau terus kerja tapi berjauhan atau harus pilih resign.” Jawab Almira penuh keyakinan.
Jalan Sepi Pilihan Almira
Pengumuman pembukaan formasi CPNS tahun 2018 berseliweran di berbagai grup whatsApp yang Almira ikuti. Seperti tahun-tahun sebelumnya, informasi tersebut hanya ia lihat tanpa dibaca lebih lanjut. Ibu beranak satu ini memang tak pernah tertarik untuk menjadi abdi negara yang selalu ramai peminat. Bukan karena tak cinta tanah air, ia hanya ingin optimal membersamai masa kecil buah hatinya yang tak akan terulang di kemudian hari. Tanpa bekerja saja, ia merasa masih masih banyak kekurangan dalam menjalankan peran sebagai istri dan ibu. Syukurlah suaminya mendukung dan bergembira dengan pilihan Almira. Apalagi pekerjaannya sebagai PNS di Badan Pusat Statistik membuat keluarga mereka harus bersedia berpindah-pindah untuk ditempatkan di seluruh Indonesia. Almira yang selalu ingin ikut ke manapun tempat suaminya bekerja makin mantap mengabdikan diri di rumah, agar tak perlu mengalami kegalauan berpisah jika ia memilih bekerja sebagai PNS.
Mendekat di Kala Jauh
“Gimana, Di tinggal di sana? Kalau aku mah enggak
bisa jauh-jauh dari orang tua.” Tanya Sari melalui whatsApp, beberapa hari setelah kedatanganku di tanah rantau di
ujung utara Pulau Sulawesi.
“Hebat
lo! Gue aja tiap hari telepon nyokap
biar enggak galau kebanyakan mikir ke mana-mana.” Puji Riya yang juga
merantau ke Pulau Sumatera tempat suaminya bekerja saat meneleponku.
Pembuahan (bagian 2)
Saat anak pertama kami belum genap satu tahun,
sudah ada yang berkomentar, “Sudah bisa nih nambah lagi,” katanya sambil
melirik si bocah cilik. Semakin bertambah usia si sulung, semakin banyak yang
berkomentar dan menyarankan hal senada. Biasanya hanya kami jawab komentar
tersebut dengan senyuman paling manis. Kami masih bulat untuk melakukan program
kehamilan lagi dengan selang lima tahun dari yang pertama. Agar bisa
menyelesaikan dahulu masa dua tahun menyusui si sulung. Sekalian juga menunggu
dia siap berbagi kasih sayang dengan saudaranya kelak.
Pembuahan
Sebagian
besar pasangan yang baru menikah, ingin segera dikaruniai anak. Begitupun kami.
Apalagi Ayah saya juga sudah sering mendesak. “Ingin segera menggendong cucu,”
katanya. Hanya saja, Allah belum segera memberikan amanahnya kepada kami.
Selain, terbentur long distance marriage
antara Kepulauan Sangihe dan Jakarta, saya masih harus menyelesaikan penelitian
tugas akhir di laboratorium yang bersinggungan dengan zat radioaktif. Di
laboratorium tersebut, wanita hamil dilarang masuk karena efeknya membahayakan
bagi janin yang dikandung.
Kondangan di Mongondow
sumber gambar: akun instagram @cubimatafoto |
Pindahan (bagian 4)
Pindahan (bagian 3)
Sepuluh bulan kemudian, setelah penuh dengan
perjuangan, drama dan air mata, alhamdulillah saya dinyatakan lulus dan
menyandang gelar Magister Farmasi. Yang mana seminggu sebelum Sidang Hasil Penelitian,
Aba wafat dan meninggalkan kerinduan mendalam hingga kini. Tanpa menunggu
jadwal wisuda yang berselang tiga bulan setelahnya, saya bersiap menyusul
suami. Inilah pindahan saya yang ketujuh, dari Kota Jakarta ke Kota Kotamobagu,
Sulawesi Utara tempat suami bertugas saat itu hingga sekarang. Kepindahan ini
sebenarnya awal dari banyak kepindahan berikutnya. Hal ini adalah konsekuensi
yang saya pilih dari menikahi suami yang bersedia ditempatkan bekerja di seluruh Indonesia.
Pindahan (bagian 3)
Pindahan (bagian 2)
Beberapa bulan kemudian, saya memutuskan pindah
dari indekos yang telah saya tempati selama tiga setengah tahun ke rumah
kontrakan seorang teman. Inilah pindahan kelima. Pertimbangan waktu itu adalah
lamanya waktu tempuh dari indekos ke SMK Kesehatan tempat saya mengajar bisa
mencapai satu setengah hingga dua jam. Padahal masih sama-sama di Kota Depok. Di
rumah tersebut saya tinggal bersama Cantika, teman kuliah dulu yang juga
mengajar di sekolah yang sama, bersama kedua orang tuanya.
Pindahan (bagian 2)
Pindahan (bagian 1)
Pindahan ketiga terjadi hampir lima belas tahun berselang dari pindahan sebelumnya, yakni ketika saya duduk di bangku kuliah tahun kedua. Setelah tiga semester pulang-pergi ke kampus di Kota Depok menggunakan metromini dan kereta, saya memberanikan diri untuk izin ke Aba dan Eyang agar dibolehkan tinggal di indekos dekat kampus. Padatnya jadwal kuliah dan praktikum yang sering kali baru selesai menjelang magrib, ditambah tugas bikin jurnal praktikum dan materi presentasi yang seabrek, membulatkan tekad saya untuk pindahan.
Pindahan ketiga terjadi hampir lima belas tahun berselang dari pindahan sebelumnya, yakni ketika saya duduk di bangku kuliah tahun kedua. Setelah tiga semester pulang-pergi ke kampus di Kota Depok menggunakan metromini dan kereta, saya memberanikan diri untuk izin ke Aba dan Eyang agar dibolehkan tinggal di indekos dekat kampus. Padatnya jadwal kuliah dan praktikum yang sering kali baru selesai menjelang magrib, ditambah tugas bikin jurnal praktikum dan materi presentasi yang seabrek, membulatkan tekad saya untuk pindahan.
Pindahan
Sebagai
makhluk sosial nan dinamis, pindahan merupakan hal yang lumrah terjadi pada
manusia. Mulai dari pindah rumah, sekolah, atau tempat kerja. Walau biasa
terjadi, pindahan sering kali terasa berat dan menjadi hal yang sentimentil.
Karena bukan hanya raga dan barang-barang yang harus dibawa pindah, hati dan
kenangan yang terukir justru lebih sering
tertinggal di tempat lama. Apalagi keluarga dan sahabat terdekat tentu tidak bisa serta merta
diboyong. Merasa asing di tempat baru serta harus mulai mencari kembali
kenyamanan dan sahabat baru, bikin pindahan menjadi momok bagi sebagian besar
orang. Akan tetapi, hidup adalah soal memilih. Meski terasa sulit di awal,
pindahan bisa jadi harapan untuk penghidupan yang lebih baik ke depannya.
Balasan dari Kebaikan (bagian 2)
sumber gambar: www.cnnindonesia.com |
Balasan dari Kebaikan
Ketika
itu keluarga kami baru kembali ke tanah rantau di Kotamobagu, Sulawesi Utara
selepas mudik ke rumah orang tua di Jakarta. Kami membawa sedikit oleh-oleh
untuk dibagikan ke tetangga sekitar yang berada di depan, belakang, dan samping
kanan kiri. Kebetulan ada penghuni baru di indekos belakang rumah kontrakan
kami. Mereka adalah keluarga kecil yang terdiri dari suami istri dengan satu
anak lelaki balita. Si Suami bekerja sebagai supir bentor (becak motor),
sedangkan si Istri adalah pegawai honorer di salah satu dinas di Pemerintah Kota.
Awalnya saya tak berniat memberi oleh-oleh kepada mereka. Akan tetapi suami
mengingatkan, “Kasih aja, Yang.”
Kenyal dan Bergerak
Setelah pada tulisan sebelumnya
membicarakan hal-hal serius, kali ini saya mau menceritakan kenangan yang kalau
diingat rasanya kocak, menggelikan, dan bisa jadi memalukan. Akan tetapi,
semoga kejadian waktu itu tetap bisa diambil hikmahnya oleh kamu yang saat ini sedang
membaca.
sumber gambar: www.pieroindonesia.com |
Darah Lebih Kental daripada Air
Benarlah adanya
bahwa darah lebih kental daripada air
Hampir semua ibu di dunia
rela menggadai nyawa
demi melahirkan kehidupan baru dari rahimnya
Hampir semua ayah di dunia
tulus berpeluh dan menyingkirkan kesenangannya
demi berjuang menghidupi darah daging tercinta
bahwa darah lebih kental daripada air
Hampir semua ibu di dunia
rela menggadai nyawa
demi melahirkan kehidupan baru dari rahimnya
Hampir semua ayah di dunia
tulus berpeluh dan menyingkirkan kesenangannya
demi berjuang menghidupi darah daging tercinta
Ecobrick Pertama Kami
Ini dia penampakan ecobrick pertama kami |
Setabah Bunda Hajar
sumber gambar: depokpos.com |
Bapak Para Nabi
Hari
Raya Idul Adha sudah hampir dua pekan berlalu, namun kisah teladan tentang dua
lelaki saleh pilihan Allah tak pernah habis untuk diambil hikmahnya. Kisah tentang
penyembelihan Nabi Ismail oleh Ayah kandungnya, Nabi Ibrahim, tentu telah sering
kita dengar karena selalu disampaikan pada khotbah Idul Adha setiap tahunnya.
Akan tetapi, setelah menjadi seorang Ibu, saya selalu menitikkan air mata haru acap
kali mendengar kisah mereka.
sumber gambar: dakwatuna.com |
Langganan:
Postingan (Atom)