Pindahan (bagian 3)

Pindahan (bagian 2)

Beberapa bulan kemudian, saya memutuskan pindah dari indekos yang telah saya tempati selama tiga setengah tahun ke rumah kontrakan seorang teman. Inilah pindahan kelima. Pertimbangan waktu itu adalah lamanya waktu tempuh dari indekos ke SMK Kesehatan tempat saya mengajar bisa mencapai satu setengah hingga dua jam. Padahal masih sama-sama di Kota Depok. Di rumah tersebut saya tinggal bersama Cantika, teman kuliah dulu yang juga mengajar di sekolah yang sama, bersama kedua orang tuanya.
Perasaan waktu itu lumayan mellow meninggalkan tempat yang menemani suka duka kuliah hingga mengantarkan pada kelulusan. Akan tetapi, karena teman-teman lain sudah lebih dulu meninggalkan indekos tersebut, perasaan saya sedikit lega. Memang sudah waktunya untuk move on dan menjalani takdir hidup masing-masing.
Ternyata pengalaman pertama mengajar di sekolah tidak berjalan mulus. Saya sempat berkonflik dengan kepala sekolah terkait prinsip-prinsip yang tidak sejalan. Ditambah sekolah tersebut baru akan mengeluarkan lulusan pertamanya, sehingga perjuangan sekali memang. Cantika, yang sudah sejak awal ingin mengundurkan diri, juga menyarankan saya untuk resign. Akhirnya saya putuskan untuk bertahan hingga akhir semester berjalan.
Tibalah waktunya kembali ke rumah tempat saya menghabiskan masa kecil hingga awal kuliah. Ya, pindah keenam adalah kembali ke rumah Eyang. Rasanya seperti kembali ke kenangan lama tapi bersama diri yang sudah bertumbuh sedemikian rupa. Sambil kuliah, saya banyak menghabiskan waktu di rumah untuk eksperimen memasak, persiapan berumah tangga.
Sekitar delapan bulan setelahnya, tepatnya pada tanggal 11 Januari 2014, saya menikah dengan teman SMA yang Allah pertemukan lagi setelah bertahun-tahun tidak saling menyapa. Sehari setelah ijab kabul menjadi momen pindahan berikutnya, pindahan ketujuh. Saya pindah dari rumah Eyang ke rumah Mertua yang hanya berjarak sekitar tiga kilometer. Iya, kami tetangga kelurahan, masih satu kecamatan. Ternyata jodoh itu memang dekat, hanya sering kali kita belum menyadarinya.
Perasaan saya kala itu didominasi oleh bunga-bunga kebahagiaan pengantin baru. Walau sebenarnya, tidak mudah beradaptasi dengan keluarga dan lingkungan baru. Namun, inilah konsekuensi dari menikah. Kita tidak hanya kawin dengan pasangan kita, tapi juga dengan keluarganya. Apalagi sebulan setelah menikah, kami menjalani long distance marriage. Suami kembali bekerja di Kabupaten Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, sementara saya tetap di Jakarta melanjutkan kuliah. Risiko yang kami pilih waktu memutuskan untuk segera menikah. Jadilah saya menantu sekaligus representasi suami, yang merupakan anak semata wayang, yang tinggal bersama mertua.

***bersambung***


#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
#Day10

Tidak ada komentar:

Posting Komentar