Bapak Para Nabi

Hari Raya Idul Adha sudah hampir dua pekan berlalu, namun kisah teladan tentang dua lelaki saleh pilihan Allah tak pernah habis untuk diambil hikmahnya. Kisah tentang penyembelihan Nabi Ismail oleh Ayah kandungnya, Nabi Ibrahim, tentu telah sering kita dengar karena selalu disampaikan pada khotbah Idul Adha setiap tahunnya. Akan tetapi, setelah menjadi seorang Ibu, saya selalu menitikkan air mata haru acap kali mendengar kisah mereka.
sumber gambar: dakwatuna.com
Dikisahkan pada pagi itu, Sang Ayah memanggil Ismail, anak kesayangan yang diharapkan kelak meneruskan perjuangan dakwahnya, “Anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Apa pendapatmu?”
Saya cukup takjub dengan kalimat yang diucapkan oleh Nabi Ibrahim saat membuka dialog dengan anaknya. Sang Ayah menanyakan pendapat anaknya tentang perintah yang Allah berikan. Sebagai orang tua, saya merasa ditegur. Untuk urusan-urusan biasa saja (bukan soal hidup dan mati seperti kisah kedua Nabi tersebut), saya cenderung bernafsu untuk dituruti anak dan lupa menanyakan pendapat dan perasaannya. Padahal anak juga punya pendapat dan perasaan yang patut kita dengar dan hargai.

Lalu jawaban Sang Anak, Nabi Ismail, lebih mengejutkan lagi, “Ayah, kerjakan apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Dialog ayah dan anak yang diabadikan dalam Alquran Surat Ash-Shaffat ayat 102 ini benar-benar menggetarkan hati saya. Butuh keimanan dan kecintaan yang luar biasa kepada Sang Pencipta untuk bisa dengan yakin menjawab seperti yang Nabi Ismail katakan. Teringat bahwa saya sering kali bernegosiasi dengan Ayah untuk banyak hal yang beliau minta atau perintahkan. Padahal tiada yang dimintanya melainkan kebaikan jua. Tak jarang akhirnya Ayah saya yang mengalah, walau bisa jadi beliaulah yang benar. Kali ini sebagai anak, Allah menegur saya lagi melalui kisah ini.
Nabi Ibrahim memeluk Ismail erat-erat dengan penuh haru, "Ayah mencintaimu, Nak! Ayah bangga kepadamu."
Nabi Ibrahim seakan mengingatkan saya lagi untuk mengungkapan rasa cinta kepada anak, agar anak merasa berharga dan terus berusaha melakukan yang terbaik untuk orang yang mencintainya karena Allah.
Nabi Ibrahim membawa Ismail jauh dari rumah. Ketika sampai di tempat dia akan disembelih, Ismail berkata, "Ayah, jangan ragu, lakukanlah perintah Allah ini. Kalau Ayah akan menyembelihku, ikatlah aku kuat-kuat agar Ayah tidak terkena darahku. Aku takut darahku mengotori bajumu sehingga pahalaku berkurang. Ayah, jangan ragu jika melihat aku gelisah. Karena itu, tajamkanlah parang Ayah agar dapat memotongku sekaligus. Telungkupkanlah wajahku, Ayah, jangan dimiringkan. Aku khawatir Ayah bisa melihat wajahku dan merasa iba sehingga Ayah jadi ragu melaksanakan perintah Allah. Kalau Ayah merasa bajuku dapat menghibur ibu, berikanlah baju ini kepada ibu."
"Anakku," bisik Nabi Ibrahim, "ketabahanmu menguatkan ketabahan Ayah."  (Wardhana & Tim Syaamil Books, 2017)
Sampai pada dialog ini, air mata saya tak terbendung lagi. Bagaimana bisa seorang anak sedemikian tabah saat menjalankan perintah Allah yang teramat berat? Begitu pun Ayahnya yang telah berpuluh tahun menanti kehadiran seorang anak dan ketika berbahagia hidup bersama, Allah perintahkan untuk melakukan hal yang sedemikian berat. Pantaslah beliau Allah abadikan (pujian) di kalangan umat manusia yang datang kemudian, “Selamat sejahtera bagi Ibrahim.”
Ketika keduanya telah berserah diri dan Nabi Ibrahim membaringkan putranya, Allah mengganti Ismail dengan seekor domba yang besar disertai panggilan, "Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu. Sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik." (Alquran Surat Ash-Shaffat ayat 103 – 105)
Begitulah kisah tentang pembuktian cinta kepada Allah. Bahwa anak yang lama didamba adalah milik Allah yang dititipkan-Nya. Maka tak sepatutnya orang tua mencintai anak melebihi cinta kepada Sang Pencipta, sehingga menjadi abai akan perintahNya.
Pantaslah Nabi Ibrahim disebut sebagai Abul Anbiya (Bapak Para Nabi). Selain karena memiliki anak Nabi Ishaq dari Bunda Sarah dan Nabi Ismail dari Bunda Hajar, lalu dari keturunan Nabi Ishaq lahir Nabi Yaqub, Yusuf, Ayub, Zulkifli, Syu'aib, Yunus, Musa, Harun, Ilyas, Ilyasa, Daud, Sulaiman, Yahya, dan Isa; sementara, dari Nabi Ismail, lahirlah Nabi Muhammad, Nabi Ibrahim pun memberikan teladan pengasuhan terbaik sebagai seorang Ayah yang bertakwa.

Referensi:
Alquran Surat Ash-Shaffat ayat 102  105
Wardhana, E., & Tim Syaamil Books. (2017). Penyembelihan Ismail. Dalam E. Wardana, & T. S. Books, Muhammad Teladanku: 1. Kelahiran Rasulullah (h. 16). Bandung: Syaamil Books.

#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
#Day1

Tidak ada komentar:

Posting Komentar