Kondangan di Mongondow


sumber gambar: akun instagram @cubimatafoto
Bolaang Mongondow Raya adalah salah satu wilayah di sebelah utara Pulau Sulawesi. Sisi timur berbatasan dengan wilayah Minahasa Raya dan sisi barat berbatasan dengan Provinsi Gorontalo. Wilayah ini terdiri dari empat kabupaten, yakni Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Utara, Bolaang Mongondow Selatan, Bolaang Mongondow Timur, dan satu kota, yakni Kotamobagu. Bahasa dan suku daerah ini disebut Mongondow.
Kini, saya sudah hampir empat tahun merantau di Kotamobagu dan sudah beberapa kali mengunjungi Bolaang Mongondow, Bolaang Mongondow Timur, dan Bolaang Mongondow Utara. Selain bahasa, budaya, adat, kebiasaan, dan makanan khasnya tentu berbeda dengan Pulau Jawa, tempat kami berasal. Dari begitu banyaknya perbedaan, yang pada awalnya terasa aneh karena belum terbiasa, saya ingin membahas mengenai kondangan di Mongondow. Bukan tentang adat pernikahannya, yang sudah jelas punya keunikan sendiri, tapi lebih tentang bagaimana alur acaranya.
Pesta pernikahan biasanya dilaksanakan di gedung atau di jalan raya depan rumah pemangku hajat. Hal ini tentu biasa terjadi juga di Pulau Jawa. Akan tetapi, yang mengherankan adalah ketika mengadakan acara di depan rumah, maka jalan akan tertutup tenda selama hampir satu minggu. Tenda dan panggung sudah dipasang H min 2-3 hingga H plus 2-3. Sangat berbeda sekali dengan di Jawa, tenda paling lama terpasang di jalan selama 2-3 hari. Kemudian di sini, pada malam sebelum acara, setelah acara, dan keesokan malamnya, panggung akan diisi oleh keluarga dan kerabat yang menyanyi menggunakan sound system hingga tengah malam. Hal ini cukup mengganggu ketika yang punya hajat adalah tetangga yang berdekatan rumah, Apalagi kami masih memiliki anak balita. Kaca-kaca di rumah bergetar keras, efek dari pengeras suara. Belum lagi makin malam, jenis musik yang dimainkan semakin disko. Sebagai pendatang, kami hanya bisa pasrah karena sudah menjadi kebiasaan masyarakat di sini.
Kalau kondangan di Jawa, tamu datang dan mengikuti acara pembukaan sekitar setengah hingga satu jam, lalu dipersilakan salaman dengan pengantin dan keluarga atau boleh juga menikmati hidangan yang tersedia lebih dahulu. Lain halnya dengan di Mongondow, tamu yang datang akan duduk bersama-sama mengikuti acara dan sambutan-sambutan keluarga serta pemerintah hingga lebih kurang dua jam. Apalagi jika shahibul bait-nya adalah orang penting, maka Walikota / Bupati akan turut memberikan sepatah dua kata yang cukup panjang. Barulah setelah acara foto bersama, tamu dipersilakan makan dengan diawali membaca doa bersama-sama. Akan tetapi, kalau di Jawa ambil makanannya dengan cara mengantre, di sini tidak. Kita semua tumplak di meja makanan bersamaan, mengambil yang terdekat dan terjangkau oleh tangan. Hikmahnya jadi sesuai sunnah Rasulullah, yakni membaca basmallah sebelum makan, mengambil makanan yang berada di dekat kita, dan makannya pun duduk (karena semua tamu kebagian kursi, demi kenyamanan mengikuti acara sebelum makan yang hingga beberapa jam). Lain halnya kalau di Jawa, kursi yang disediakan lebih sedikit dari jumlah undangan, sehingga makan di kondangan sambil berdiri menjadi pemandangan yang lumrah.
Pernah suatu ketika kami kondangan. Pada undangan tertulis acara dimulai pukul 19.00 WITA. Karena sudah pengalaman, kami pun datang pukul 19.45 WITA supaya tidak terlalu bosan mengikuti rangkaian acara. Apesnya, kali itu tuan rumah mengundang Bupati dari kabupaten sebelah yang juga padat jadwal sambutan di pernikahan lainnya, sehingga datang terlambat. Saya sudah cukup bosan memainkan gawai dan arloji di tangan sudah menunjukkan pukul 21.00 WITA. Namun, belum ada tanda-tanda akan beranjak ke acara makan. Jabang bayi di perut sudah meronta meminta haknya. Saya pun jadi teringat pisang mas di rumah yang tak sempat saya makan sisanya karena sudah dihinggapi ulat. Seumur-umur baru di sini lihat ada ulat pisang. Selama ini tahunya kalau pisang terlalu matang, akan kecoklatan dan membusuk. Pikiran pun jadi kemana-mana karena sudah terlalu lapar.
Akhirnya menjelang jam sepuluh malam, kami mulai mengerumuni meja makanan. Mengobati lapar yang sedari tadi menjalar. Selesai makan, barulah kami dipersilakan menyalami pengantin dan keluarga, juga foto bersama. Uniknya, saat masih banyak undangan yang belum berhamburan pulang, panitia di meja penerima tamu sudah sibuk membuka amplop dan mencatat jumlah serta nama pemberinya. Pemandangan yang aneh menurut kami. Kalau waktu kami nikahan, buka amplop dan catat-catat dilakukan di ruang tertutup saat semua tamu sudah pulang, bahkan bisa jadi baru keesokan harinya dikerjakan.
Begitulah secuplik kisah kami mengenai kondangan di tanah rantau, Bolaang Mongondow Raya. Kamu yang merantau punya cerita serupa? Silakan bagikan di komentar ya.

#TantanganODOP1
#komunitasonedayonepost
#ODOP_6
#Day12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar